Berada di ujung timur Pulau Jawa dan disinggahi para wisatawan sebelum menyeberang ke Pulau Bali; itulah informasi umum tentang Banyuwangi. Warna biru dan hijau terangkai menjadi satu dalam bingkai alam di lor dan kidul; itulah informasi khusus tentang Banyuwangi.
*
Banyuwangi mulai memperbaiki wajah pariwisatanya sejak pergantian bupati yang lalu. Bandar udara mulai dibuka dan jalan-jalan mulai disambung kembali untuk mempermudah akses para wisatawan yang datang. Jasa guide dan penginapan yang ramah bagi para wisatawan asing—maksudnya, berbahasa Inggris dengan baik—mulai berkembang. Berbagai jenis festival diadakan sepanjang tahun untuk menambah daya tarik dan pemasukan kabupaten ini. Sebuah usaha untuk menjadikan Banyuwangi sebagai destinasi utama pariwisata, bukan hanya sebuah “tempat singgah”.
Bermula dari pusat kota. Seperti kabupaten atau kota lainnya, Banyuwangi memiliki alun-alun yang dinamakan Taman Sritanjung dan terletak persis di depan Masjid Agung Baiturrahman. Penampakannya seperti taman pada umumnya, dengan beberapa tempat untuk duduk-duduk di sore hari dan warung-warung kecil yang menjajakan makanan dan minuman. Tak jauh dari situ, ada Taman Blambangan yang penampakannya lebih cocok disebut sebagai alun-alun: lapangan luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang untuk meneduhi pertukaran canda dan tawa para warga atau wisatawan. Beberapa kali melewati Taman Blambangan, lapangan luasnya sering dimanfaatkan untuk latihan baris-berbaris. (Lomba baris-berbaris sangat bergengsi di Banyuwangi dan boleh diikuti segala jenis usia. Mendekati tanggal 17 Agustus, warga yang ingin ikut serta dalam lomba tersebut mulai giat berlatih, dari siang hingga malam hari, dari memanfaatkan Taman Blambangan hingga jalan raya.)
Bergeser ke utara dari pusat kota. Karena ingin melihat blue fire, perjalanan dari kota dimulai pukul 00.30, kemudian menempuh waktu dua jam untuk sampai di basecamp Kawah Ijen. Dari basecamp, masih ada tanjakan, jalanan yang rata, turunan—yang terbagi dalam lima pos—yang harus dilalui dan tumpukan bebatuan yang harus dituruni untuk—akhirnya—melihat blue fire yang menyambar dan diikuti dengan asap belerang. (Kurang lebih dua jam yang dibutuhkan untuk melewati semua rintangan tersebut.)
Blue fire berasal langsung dari perut bumi. Selanjutnya, dengan segala akal dan kepintaran manusia, asap belerang yang dihasilkan dari api ini diolah sedemikian rupa dalam sebuah pipa, membeku, dan menghasilkan batu belerang. Batu belerang diminati oleh perusahaan pembuat kosmetik sehingga pemandangan para lelaki—baik yang tua maupun muda—yang menambang dan mengangkut batu-batu belerang dari kawah hingga ke basecamp sangat sering terlihat.
Seorang penambang batu dapat mengangkut 70-100 kilogram batu belerang pada pundaknya (jika bapak penambang batu sudah berumur, biasanya batu yang diangkut hanya sekitar 30 kilogram) dalam satu kali angkut. Dalam satu hari, seorang penambang batu bisa dua sampai tiga kali bolak-balik untuk mengangkut batu belerang. (Satu kali perjalanan mengangkut batu dari kawah menuju basecamp kurang lebih ditempuh selama tiga jam dan biasanya para penambang batu mulai bekerja pukul 23.00 hingga pagi hari.) Namun, kerja keras tersebut kurang setimpal karena satu kilogram batu belerang hanya dihargai Rp1.000,00.
Ketika matahari terbit, maka usailah fenomena blue fire. Danau luas berwarna biru kehijau-hijauan dan berisi air panas mulai terlihat. Bebatuan yang merintangi perjalanan menuju kawah masih tetap merintangi perjalanan para penambang batu yang hendak menyetor batunya di basecamp. Batu-batu belerang berukuran kecil yang telah dibentuk dan diukir (dibuat dengan bantuan belerang cair) dijajakan untuk meraup sedikit uang bagi para penambang. Jasa troli untuk mengangkut penumpang yang malas turun ke basecamp juga menghiasi sudut-sudut Kawah Ijen. Gunung Raung dan Gunung Meranti tak bosan-bosannya menemani perjalanan kembali ke basecamp.
Rasanya, dalam gelap maupun terang, pertunjukan tak pernah berakhir di Kawah Ijen.
Bergeser semakin ke utara dari pusat kota. Hamparan savana yang luas dan sebuah pantai yang tenang siap menyambut setelah papan bertuliskan “Taman Nasional Baluran” dilewati. Namun, ada beberapa cerita yang perlu disimak sebelum kaki melangkah gembira di taman nasional ini.
Taman Nasional Baluran adalah taman nasional yang dikelola oleh pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah, sehingga kondisi jalanan dari pos bayar tiket hingga Savana Bekol—kurang lebih sejauh 11 kilometer—cukup memprihatinkan. Pohon-pohon di hutan sebelah kanan dan kiri jalan juga terbengkalai tanpa pernah diurus dan dirawat. Selain itu, bapak-bapak yang menjaga pos bayar tiket tampak tidak peduli dengan berapa jumlah orang yang datang. Kami datang berenam, salah satu teman kami turun dari mobil untuk membayar tiga tiket masuk. Lolos begitu saja tanpa diperiksa.
Sajian pertama dari Taman Nasional Baluran adalah Savana Bekol. Savana ini sangat luas dengan latar belakang Gunung Baluran yang megah. Lebih baik mengitari savana ini dengan mobil karena peringatan untuk tidak berjalan-jalan ke tengah savana sudah terpampang jelas (karena savana ini merupakan habitat ular) dan matahari yang bersinar dengan kuat bisa membakar kulit tubuh matang-matang (saking panasnya, tanah di savana sangat kering hingga retak-retak).
Hanya ada satu jalan untuk menyusuri Taman Nasional Baluran. Kami menyusuri Savana Bekol sambil mencari keberadaan monyet dan rusa (yang ukurannya jauh lebih besar daripada di Bogor) yang hidup liar dan bebas, kemudian takjub setelahnya. Katanya, burung merak dan macan juga tinggal di taman nasional ini tapi kami belum beruntung untuk melihatnya. Setelah Savana Bekol, di ujung Taman Nasional Baluran, terlihatlah Pantai Bama.
Pantai Bama tidak terlalu luas dan ombaknya sangat tenang. Cocok untuk bermain pasir di pinggir pantai atau hanya duduk-duduk menikmati semilir angin. Sebenarnya kegiatan yang dijual dari pantai ini adalah mangrove trail, ketimbang kegiatan di pantainya sendiri.
Kembali ke pusat kota. Ada Pecel Pitik dan Sego Tempong yang wajib dicoba. Pecel Pitik adalah ayam kampung yang disuwir, kemudian dibakar, dan dicampur dengan parutan kelapa. Rasanya pedas dan manis, pedas dari bumbu ayamnya dan manis dari parutan kelapanya. Pecel Pitik biasanya disandingkan dengan Sop Kesrut atau Uya Lodeh (ayam yang dijadikan sop).
Berikutnya, Sego Tempong. Sego Tempong adalah Nasi Ramesnya Banyuwangi. Nasi putih yang dilengkapi beberapa sayur dan lauk (sambal ikan teri dan bakwan jagung) wajib, ditambah lauk yang boleh dipesan oleh pembeli. Lauk yang disediakan cukup banyak: ikan pe, pepes tawon, ayam pedas (ayam kuah opor tapi pedas), ayam panggang (ayam bakar yang diberi bumbu), dan lain-lain.
(Masih banyak makanan khas dari Banyuwangi yang patut dicoba, tapi ini rekomendasi dari saya yang sangat amat wajib untuk dicoba jika berkunjung ke Banyuwangi.)
Bergeser ke selatan dari pusat kota. Kali ini, Taman Nasional Meru Betiri yang siap menyambut. Sambutannya pun lebih baik daripada taman nasional sebelumnya karena jalan yang mulus dan perkebunan karet yang rapih di samping kanan dan kiri jalan (pohon karet akan tumbuh mengikuti cahaya matahari sehingga tumbuhnya bisa miring ke kanan atau ke kiri, tergantung darimana cahaya matahari berasal). Semakin ke dalam, perkebunan cokelat yang kali ini menyambut. Cokelat diolah dari bijinya, tetapi daging buahnya yang berwarna putih tetap bisa dimakan. (Buah cokelat tumbuh di batang.) Bentuknya kecil dan rasanya sedikit asam.
Tujuan utama ke Taman Nasional Meru Betiri adalah Pantai Teluk Hijau. Sebelum sampai di pantai ini, Pantai Rajegwesi dan Pantai Batu akan dilewati terlebih dahulu. Setelah melewati Pantai Rajegwesi, mobil harus berhenti sebelum mencapai Pantai Batu dan Pantai Teluk Hijau. Kedua pantai ini hanya bisa dicapai dengan menggunakan perahu membelah lautan atau trekking melalui hutan. Karena biaya perahu cukup mahal dan ombak juga sangat tinggi di hari itu, kami memutuskan untuk trekking melalui hutan. (Hati-hati dengan barang bawaan, terutama plastik kresek, karena di dalam hutan ini masih banyak monyet yang hidup liar dan bebas.)
Setelah trekking selama setengah jam, tibalah di Pantai Batu. Di sepanjang pantai ini, hanya ada batu dan bukan pasir. Ombaknya juga sangat tinggi sehingga larangan untuk bermain air sudah terukir di papan penanda “Pantai Batu”.
Trekking berlanjut dengan menyusuri Pantai Batu dan dibalik pantai tersebut, muncullah Pantai Teluk Hijau. Pantai yang tidak terlalu luas, tapi pasirnya putih dan air lautnya bening, walaupun ombak tetap tinggi sehingga tidak bisa bermain air terlalu jauh. Belum banyak juga orang yang mengunjungi pantai ini sehingga terasa seperti private beach.
(Di dalam Taman Nasional Meru Betiri juga banyak terdapat rumah penduduk yang bekerja di perkebunan.)
Bergeser semakin ke selatan dari pusat kota. Terakhir adalah Taman Nasional Alas Purwo. Saat memasuki taman nasional ini, hutan musim pohon jati datang menyapa. (Pohon-pohon jati yang sedang meranggas serasi sekali dengan warna biru langit hari itu.) Kemudian, untuk menuju beberapa tempat wisata di Taman Nasional Alas Purwo, jalur yang ditempuh berbeda-beda—tidak seperti di Taman Nasional Baluran yang hanya satu jalur.
Pertama adalah Savana Sadengan. Savana ini sebenarnya sangat luas, namun karena banyak banteng (lebih pendek daripada kerbau) dan kerbau bule (warnanya cokelat muda, tapi bukan sapi) yang masih hidup liar dan bebas dan mencari makan sendiri di savana tersebut, wisatawan hanya boleh menikmati savana ini sejauh pagar yang telah dibuat. (Siapkan lensa tele jika ingin memotret banteng dan kerbau yang ada di sana.) Bonusnya bagi kami adalah melihat elang yang sedang terbang mengintai mangsa di savana tersebut!
Kedua adalah Pantai Pancur. Seperti pantai sebelumnya, Pantai Pancur juga berpasir putih, berair bening, dan berombak besar (walaupun tidak sebesar ombak Pantai Teluk Hijau). Pantai Pancur sangat luas dan banyak kerang-kerang berwarna unik dan berbentuk lucu yang kami temukan. Dari Pantai Pancur, para peselancar bisa naik mobil jeep dengan paket biaya tertentu untuk menuju Pantai Plengkung atau G-Land untuk surfing dengan ombak yang wah luar biasa.
Ketiga adalah Penangkaran Penyu Meru Betiri. Walaupun kurang terawat, penangkaran penyu ini berusaha menyelamatkan telur-telur penyu yang ditinggalkan induknya (penyu akan kembali ke tempat ia lahir ketika meninggalkan telur-telurnya) di sepanjang pantai. Telur tersebut akan dirawat hingga menetas dan ketika usia anak-anak penyu tersebut mencapai tiga bulan, mereka siap dilepas ke laut. (Pengalaman yang lebih nyata bisa dirasakan di Pantai Sukamade di dalam Taman Nasional Meru Betiri, namun harus menginap di sekitar sana karena pelepasan penyu ke laut atau penyu yang meninggalkan telur-telurnya di sepanjang pantai biasanya terjadi di malam hari.)
Dalam perjalanan pulang, kami menerima bonus lagi. Seekor burung merak. Wah! (Burung merak baru akan membuka sayapnya saat musim kawin tiba untuk menarik perhatian lawan jenisnya.)
Kembali lagi ke pusat kota. Yang ini, untuk pulang. (Sangat menyarankan adanya kereta tujuan langsung Jakarta dari Banyuwangi, dan juga sebaliknya, agar tidak perlu bolak-balik naik dan turun kereta.)
*
Dari perjalanan ini, saya merasakan usaha yang kuat untuk menjadikan Banyuwangi sebagai destinasi utama pariwisata. Sedikit lagi perbaikan, maka Banyuwangi akan bisa setara dengan pulau di dekatnya. (Ada beberapa wisatawan asing yang menjelajahi Banyuwangi, karena saya bertemu dengan mereka di beberapa tempat wisata, bukan hanya mengunjungi Kawah Ijen dan menyeberang ke Pulau Bali esok harinya.)
Ingin mengapresiasi teman-teman perjalanan saya ke Banyuwangi: Muthi, Qolbi, Disty, Dian, Hany. Karena mereka, liburan kali ini terasa menyenangkan dan tidak membosankan.